Tampilkan postingan dengan label DIKOTOMI ANTARA KEPASTIAN HUKUM DENGAN PUTUSAN PENGADILAN YANG TUMPANG TINDIH atau TIDAK SERAGAM. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label DIKOTOMI ANTARA KEPASTIAN HUKUM DENGAN PUTUSAN PENGADILAN YANG TUMPANG TINDIH atau TIDAK SERAGAM. Tampilkan semua postingan

DIKOTOMI ANTARA KEPASTIAN HUKUM DENGAN PUTUSAN PENGADILAN YANG TUMPANG TINDIH atau TIDAK SERAGAM

 



DIKOTOMI ANTARA KEPASTIAN HUKUM DENGAN

PUTUSAN PENGADILAN YANG TUMPANG TINDIH atau TIDAK SERAGAM 

 

Tugas pokok atau utama hukum adalah menciptakan ketertiban umum (public order), dengan tujuan agar tercipta atau terwujud kedamaian hidup bersama (peaceful living together)  melalui keteraturan (keajegan) interaksi masyarakat.  Faktor yang sangat penting untuk merealisasikan tujuan hukum adalah “adanya kepastian dan kesebandingan” dalam penegakkan hukum (law enforcement), dengan prinsip bahwa kepastian bersifat konkrit terhadap penyelesaian sengketa (disputes resolution) dalam peristiwa – peristiwa hukum tertentu dan adanya jaminan perlindungan hak – hak warga negara (dalam wacana ini adalah hak – hak keperdataan). 

Secara prinsip, “putusan Pengadilan adalah hukum”, dan apabila putusan Pengadilan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) maka putusan Pengadilan tersebut merupakan final dan mengikat (final and binding) sehingga secara serta merta dapat dilaksanakan (heef een executiewaarde).  Akan tetapi dalam keadaan yang sebenarnya (in concreto) maka menurut H. Zainuddin Ali menyatakan, “Hukum yang siap dipakai/digunakan oleh praktisi hukum dalam menyelesaikan permasalahan hak dan kewajiban di zaman reformasi saat ini adalah hukum yang bersifat politis, sedangkan tugas menemukan dan menerapkan hukum atas kasus – kasus konkret berbeda pada setiap orang dan tekniknyapun berbeda dalam fungsi pemerintahan. Oleh karena itu, produk – produk hukum sering dinyatakan sebagai adil secara yuridis normatif atau yang berdasarkan undang – undang (dogmatis), tetapi tidak adil secara yuridis empiris atau kenyataan nilai – nilai hukum yang ada dalam masyarakat. Suatu produk hukum yang dirasakan tidak adil, secara yuridis empiris sesungguhnya merupakan produk hukum yang sia – sia” [1]. 

Dalam konteks pembahasan wacana akademis “Dikotomi antara Kepastian Hukum dengan Putusan Pengadilan yang Tumpang Tindih atau Tidak Seragam” dalam lingkup praktek Hukum Acara Perdata, maka yang menjadi relevansi  fokus kajian tanpa mengingkari “masih banyak mental dan moralitas Hakim yang bobrok sebagai Petugas Hukum”  adalah beberapa asas Hukum Acara Perdata yaitu: 1) Asas Mendengar Kedua Belah Pihak (Horen van Beide Partijen); dan   2) Asas Putusan Harus disertai Alasan – Alasan, sebab asas – asas tersebut seringkali menjadi sumbu pemantik yang memberangus “Kepastian Hukum” yang pada akhirnya terbit putusan Pengadilan yang tumpang tindih atau tidak seragam. Adapun penjelasan yuridis – ilmiah yang dapat dijadikan argumentasi dari postulat tersebut, sebagai berikut:

.

1.    Asas Mendengar Kedua Belah Pihak yang Berperkara (Horen van Beide Partijen) 

Ketentuan dalam Hukum Acara Perdata mengharuskan bahwa setiap pemeriksaan perkara yang disengketakan (perkara a quo) persidangan  maka kedua belah pihak harus diperlakukan sama, tidak memihak, dan diberi kesempatan yang sama untuk mengemukakan dalil – dalil argumentasi hukumnya. “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang”,  sebagaimana termaktub dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970. Hal tersebut mengandung arti bahwa dalam Hukum Acara Perdata, pihak-pihak beperkara harus sama-sama diperhatikan, berhak atas perlakuan yang sama dan adil, serta masing-masing harus diberi kesempatan untuk memberikan pendapatnya. Asas bahwa kedua belah pihak harus didengar lebih dikenal dengan “asas audi et alteram partem” atau “eines mannes rede ist keines mannes rede, man soll sie horen alle beide”. Makna dari asas hukum yang demikian  bahwa Hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai benar apabila pihak lawan tidak didengar atau tidak diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya. Hal  ini berarti juga bahwa “pengajuan alat bukti harus dilakukan di muka sidang  dengan dihadiri oleh para pihak yang berperkara  (Pasal 121 dan 132 HIR, Pasal 145 dan 157 RBg)” [2]. Pengecualian dalam hal ini adalah pemeriksaan perkara secara verstek yaitu pemeriksaan perkara perdata di persidangan  diluar hadirnya salah satu pihak yang berperkara (dengan ketentuan hanya terdapat satu pihak Penggugat dan satu pihak Tergugat). 

Akan tetapi dalam praktek persidangan perkara perdata di Pengadilan Indonesia makna dari  Asas Mendengar Kedua Belah Pihak (Horen van Beide Partijen), sering menjadi sekedar  “jargon yang bersifat absurd” oleh karena Hakim/Majlis Hakim tidak menjalankan fungsinya sebagai “wasit (referee)” secara netral dalam konteks penanganan perkara perdata di persidangan Pengadilan. Apalagi apabila perkara yang diperiksa, diadili dan diputus oleh Pengadilan tersebut merupakan “perkara titipan”  atau “perkara atensi”. Kenyataan demikian menimbulkan perilaku Hakim (Pengadilan) yang tidak adil (fair), bersifat memihak (impartiality), mengabaikan nilai – nilai kebenaran melalui fakta – fakta hukum yang terungkap di persidangan, sehingga martabat (marwah) Pengadilan untuk memberi keadilan bagi para Pencari Keadilan (justitiabelen) kehilangan roh  oleh karena Hakim (Pengadilan) telah masuk dalam pusaran mafia peradilan (judicial corruption). Pada akhirnya, putusan – putusan yang diproduksi oleh Pengadilan tidak lagi mencerinkan adanya Kepastian Hukum, bahkan  polemic banyaknya putusan – putusan yang tumpang tindih atau tidak seragam menjadi fenomena “yang menyayat rasa keadilan” oleh karena dalam 1 (satu) perkara terdapat beberapa putusan yang berbeda, bahkan putusan yang telan mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) sekalipun tidak dapat dieksekusi, karena kenyataannya terhadap obyek sengketa yang sama masih terdapat perkara yang sedang diperiksa Pengadilan apalagi kemudian apabila Pengadilan memberikan/menjatuhkan putusan yang berbeda atas obyek sengketa yang sama yang telan mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) tersebut. Dalam peristiwa yang demikian makna asas “Hakim dianggap  tahu akan hukumnya” (ius curia novit) menjadi dipertanyakan, dan Pengadilan kehilangan kepercayaan dari masyarakat “sebagai benteng terakhir bagi para pencari keadilan”.

 

2.    Asas Putusan Harus disertai Alasan – Alasan. 

Setiap putusan Hakim (Pengadilan) harus memuat alasan – alasan  putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili (Pasal 23 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, Pasal 184 ayat (1) HIR, Pasal 195 RBg, 61 Rv). Alasan - alasan atau argumentasi itu dimaksudkan sebagai pertanggungan jawab ex officio  Hakim tugas, kewajiban, dan kekuasaan yang dimilikinya dalam memeriksa, memutus dan mengadili perkara yang ditanganinya. 

Alasan – alasan, berupa pertimbangan mengenai pokok perkara dan pertimbangan mengenai hukumnya, yang termaktub dalam putusan Hakim (Pengadilan) membuat putusan tersebut dianggap mempunyai wibawa (gezag). Putusan yang tidak lengkap atau kurang pertimbangannya (onvoldoende gemotiveerd) merupakan alasan untuk kasasi dan putusan demikian harus dibatalkan (MA. Tgl. 22-7-1970 Nomor 638 K/Sip/1969 dan tanggal 16-12-1970 Nomor 492 K/Sip/1970). 

Dalam praktek peradilan Hukum Acara Perdata, maka maka sangat lazim terjadi bahwa untuk lebih dapat mempertanggungjawabkan suatu putusan Pengadilan (Hakim/Majelis Hakim), alasan – alasan  yang dikemukakan dalam putusan tersebut didukung dengan mengintrodusir  yurisprudensi dan doktrin (pendapat Ahli Hukum yang terkemuka). 

Namun demikian, dalam kenyataannya (in actu) seringkali Hakim/Majelis Hakim (Pengadilan) tidak memuat alasan – alasan dalam pertimbangannya terhadap seluruh dalil – dalil yang dikemukakan oleh Para Pihak di persidangan Pengadilan Perdata. Bahkan lebih ironisnya lagi, pada tingkat Banding di Pengadilan Tinggi, seringkali Hakim/Majelis Hakim (Pengadilan) dalam pertimbangan putusannya hanya menggunakan dalih “mengambil alih seluruh pertimbangan Hakim/Majelis Hakim pada Tingkat Pengadilan Negeri”. Padahal, secara  prosedural – fungsional  maka kapasitas/kedudukan   Hakim/Majelis Hakim pada Pengadilan Tinggi adalah juga sebagai “Judex Facti” yang harus memeriksa ulang pokok perkara a quo yang disengketakan dan selanjutnya mengemukakan alasan – alasan sebagai pertimbangan – pertimbangan putusan, baik pertimbangan mengenai pokok perkara maupun pertimbangan mengenai hukum. Akibat diabaikannya “Asas Putusan Harus disertai Alasan – Alasan” maka seringkali putusan Hakim/Majelis Hakim (Pengadilan) tidak mencerminkan kepastian hukum, bahkan sering pula ditemukan antara putusan yang satu tumpang tindih atau tidak seragam dengan putusan yang lain meskipun pada dasarnya perkara – perkara tersebut  mempunyai persamaan pokok. Dalam keadaan demikian, putusan pengadilan sebagi produk hukum telah kehilangan esensinya yang bersifat dwitunggal. Bahkan lebih fatal dari itu, akibat dari “tidak adanya kepastian hukum dan adanya putusan yang tumpang tindih atau tidak seragam” akan menimbulkan kegaduhan (keadaan tidak tenteram)  dalam masyarakat karena masing – masing mempertahankan produk hukum berupa Putusan Pengadilan yang dimilikinya, hingga pada akhirnya untuk mempertahankan haknya maka masyarakat cenderung untuk bertindak “main hakim sendiri” (eigen richting). 

 

Writer and Copy Right:

Dr. (Cand.) Appe Hamonangan Hutauruk, SH., MH.

Lecturer, Advocate and Legal Consultant

Handphone: 0818964919, 085959597919, 081213502002



[1] H. Zainuddin Ali. Sosiologi Hukum.Penerbit Sinar Grafika. Jakarta, tahun 2008. halaman 52.. 

[2]) Lilik Mulyadi. Putusan Hakim dalam Hukum Acara Perdata di Indonesia. Penerbit PT. Citra Aditya Bakti. Bandung, tahun 2014, halaman  16.

________________________

HIMBAUAN PARTISIPASI:

Sebagai PEMILIK dan PENULIS artikel - artikel dalam Blogger NEWS AND STUDIES, saya menyatakan:

·         Mengajak ENDORSE  untuk memasang iklan pada artikel – artikel di NEWS AND STUDIES dengan langsung menghubungi saya;

·         Mempersilahkan rekan - rekan dan khalayak umum untuk mengcopy seluruh konten yang terdapat dalam Blogger  NEWS AND STUDIES, , akan tetapi sebagai ungkapan KEPEDULIAN kiranya berkenan memberikan partisipasi  umpan balik dalam bentuk komentar.

#appehamonanganhutauruk

@appehamonangan68(appehamonangan68)TikTok

Salin Kode Undangan SnackVideo Appe Hamonangan Hutauruk: 873 879 381

https://www.youtube.com/channel/UCedp8eUSKI0upnkURG7TRmw

#SalamPersasaudaraan:
APPE HAMONANGAN HUTAURUK

Sekelumit Ringkasan HUKUM WARIS ADAT

  Sekelumit Ringkasan  HUKUM WARIS ADAT   HUKUM WARIS ADAT   adalah hukum waris yang diakui, diyakini dan dijalankan oleh suku atau etnik  t...