SEKILAS TENTANG HUKUM ACARA PERDATA

 




SEKILAS TENTANG HUKUM ACARA PERDATA

 

HUKUM ACARA PERDATA  adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materil  di Pengadilan dengan perantaraan Hakim. Pengertian  lebih konkrit bahwa  Hukum Acara Perdata mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak (baik yang mengandung sengketa maupun yang tidak mengandung sengketa), memeriksa serta memutusnya, dan pelaksanaan dari putusan (eksekusi)  tersebut.

 

Dalam Hukum Acara Perdata tidak dijumpai ketentuan yang tegas melarang tindakan menghakimi atau main hakim sendiri (eigenrichting). Ketentuan mengenai larangan eigenrichting terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tanggal 10 Desember 1973 No. 366 K/Sip/1973.

 

Sumber – sumber Hukum Acara Perdata, meliputi:

a.   HIR (Het Herziene Indonesich Reglement) atau Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (untuk Jawa dan Madura);

b.   RBg (Rechtsreglement Buitengewesten) atau Reglemen Daerah Seberang (untuk luar Jawa dan Madura);

c.    Rv (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering) atau Reglemen Hukum Acara Perdata untuk Golongan Eropa;

d.   RO (Reglement op  de Rechtsterlijke Organisatie in het beleid der Justitie in Indonesia) atau  Reglemen tentang Organisasi Kehakiman;

e.   BW (Burgerlijke Wetbook) atau Kitab Undang – Undang Hukum Acara Perdata (KUHPerdata)

f.     Yurisprudensi.

g.   Perjanjian Internasional (Treaty);

h.   Doktrin (Doctrine).

 

Secara garis besar,  Asas – Asas Hukum Acara Perdata, meliputi:

1.   Hakim Bersifat Menunggu;

2.   Kalau tidak ada tuntutan hak atau penuntutan, tidak ada Hakim (Wo kein Klager ist, ist kein Richter; nemo judex sine actore)

3.   Hakim Pasif;

4.   Sifat Terbukanya Persidangan;

5.   Mendengar kedua belah pihak;

6.   Audi et alteram partem, atau Eines Mannes Rede, ist keines mannes rede, man soll sie horen alle beide;

7.   Putusan harus disertai alasan – alasan;

8.   Beracara Dikenakan Biaya;

9.   Tidak ada Keharusan Mewakilkan.

 

Ketentuan Kekuasaan Kehakiman diatur dalam  Undang - Undang  No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan KehakimanUndang - Undang  No. 8 Tahun 2004 Tentang Peradilan UmumUndang - Undang  No. 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung.


APPE HAMONANGAN HUTAURUK, SH., MH.






TINDAK PIDANA DALAM KONSEPSI HUKUM POSITIF INDONESIA

 



TINDAK PIDANA DALAM KONSEPSI HUKUM POSITIF INDONESIA

 

Terminologi  “Strafbaar feit”  berasal dari bahasa Belanda yang mempunyai berbagai konotasi dalam bahasa Indonesia, diantaranya tindak pidanadelikperbuatan pidanaperistiwa pidana atau  perbuatan yang dapat dipidana.  Strafbaar feit terdiri dari 3 (tiga) kata, yakni “straf”, ”baar”  dan “feit”.  Terjemahan dari strafbaar feit,  yaitu kata  “straf”  diterjemahkan sebagai “pidana” atau “hukum”. Sedangkan kata  “baar”  diterjemahkan dalam arti  “dapat” atau   “boleh”, sedangkan   kata “feit”  diterjemahkan dengan “tindakan”“peristiwa”,  “pelanggaran”  dan “perbuatan”. 

Secara histori,  Istilah  “Strafbaar feit  terdapat  dalam  WvS (Wetboek van Strafrecht)  Belanda,  tetapi  tidak  ada  penjelasan  resmi  mengenai   apa pengertian   yang  dimaksud  dengan  strafbaar feit  tersebut. 

Adam Chazawi (2002: 70) mengemukakan rumusan pengertian  "strafbaar feit"  secara eksplisit, sebagai berikut: “Strafbaarfeit  itu  dikenal  dalam  hukum  pidana,  diartikan  sebagai  delik,  peristiwa  pidana,  dan  tindak  pidana.  Strafbaarfeit  terdiri  dari  3  (tiga)  kata  yaitu  straf,  baar,  dan  feit.  Straf  diartikan  sebagai  pidana  dan  hukum,  baar  diartikan  sebagai  dapat  dan  boleh.  Sedangkan  feit  diartikan  sebagai  tindak,  peristiwa,  pelanggaran,  dan  perbuatan.  Bahasa  inggrisnya  adalah  delict. Artinya, suatu  perbuatan  yang  pelakunya  dapat  dikenakan  hukuman  (pidana)”. 

Selain itu, Bambang  Poernomo (1983: 91) menjelaskan  bahwa: “Istilah  delik,  strafbaar feit,  peristiwa  pidana  dan  tindak  pidana  serta  perbuatan  pidana  mempunyai  pengertian  yang  sama  yaitu  suatu  perbuatan  yang  dilarang  oleh  aturan  hukum  dan  larangan  tersebut  disertai  dengan  ancaman  dan  sanksi  berupa  pidana  yang  melanggar  larangan  tersebut“. 

Pompe  (Lamintang, 1985: 173)  memberikan  batasan  pengertian  istilah  strafbaarfeit  sebagai  berikut: “Secara  teoritis  strafbaar feit  dapat  dirumuskan  sebagai  suatu  pelanggaran  norma  (ganguan  terhadap  ketertiban  hukum/ law ordeer)  yang  dengan  sengaja  ataupun  tidak  sengaja  telah  dilakukan  oleh  seorang  pelaku,  dimana  penjatuhan  hukuman  terhadap  pelaku  tersebut  adalah  perlu  demi  terpeliharanya  tertib  hukum  dan  terjaminnya  kepentingan  hukum”. 

Pidana dapat berbentuk punishment atau treatment. Pidana merupakan implikasi yuridis sebagai konsekwensi  terhadap kesalahan (senagaja atau lalai/alpa) yang dilakukan  pelaku tindak pidana. Sedangkan tindakan adalah untuk perlindungan masyarakat dan untuk pembinaan pelaku tindak pidana (pelaku perbuatan yang dilarang). 

Dalam konteks criminal justice system, maka selama kesalahan seorang pelaku tindak pidana (criminal)  belum ditetapkan oleh seorang hakim, maka orang ini disebut seorang Tersangka atau Terdakwa. Hal tersebut merupakan asas dasar sebuah negara hukum (rechtsstaat yang menganut konsep rule of law), dimana seseorang tetap dinyatakan tidak bersalah sebelum kesalahannya terbukti berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Pelaku tindak kriminal yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan harus menjalani hukuman disebut sebagai terpidana atau narapidana. 

Penerapan “pidana” sangat erat hubungannya dengan penegakkan “Hukum Pidana”. Secara umum dapat dikatakan bahwa Hukum Pidana adalah keseluruhan dari peraturan - peraturan yang menentukan perbuatan/tindakan yang dilarang (kaidah - kaidah hukum yang berisikan larangan)  dan jenis - jenis   tindak pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukan tindak pidana tersebut. 

Menurut Prof. Moeljatno, S.H.  “HUKUM PIDANA”   adalah bagian daripada keseluruhan  hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:

  1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
  2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
  3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

 Sudarsono, menyatakan bahwa  pada prinsipnya Hukum Pidana adalah yang mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum dan perbuatan tersebut diancam dengan pidana yang merupakan suatu penderitaan.


APPE HAMONANGAN HUTAURUK, SH., MH.







TEORI – TEORI PEMERINTAHAN DAERAH

 



TEORI – TEORI PEMERINTAHAN DAERAH

 

Areal Division of Power (ADP) mempunyai ciri – ciri sebagai berikut:

1.    Selalu dikaitkan secara erat dengan nilai – nilai dasar komunitas;

2.    Secara sistematik meliputi berbagai cara untuk membagi kekuasaan pemerintahan menurut wilayah, untuk memperkenankan dan mendorong analisis perbandingan;

3.    Penerapannya dapat pada Negara Kesatuan atau Federal;

4.    Menjanjikan suatu landasan bagi pengembangan hubungan antara  Areal Division of Power (ADP) dengan Capital Division of Power (CDP).

 

Pada Division of Power (ADP) ini terdapat 3 (tiga) nilai dasar yang akan direalisasikan, yaitu:

-     Liberty, pembagian kekuasaan untuk mempertahankan tindakan pemerintah yang sewenang – wenang;

-     Equity, pembagian kekuasaan memberikan kesempatan yang luas bagi partisipasi warga masyarakat dalam kebijakan, dan

-     Welfare, pembagian kekuasaan menjamin bahwa tindakan pemerintah akan efektif dalam memenuhi kebutuhan masyarakat;

 

Fragmented Field Administration:

-       Membenarkan batas – batas wilayah kerja (yurisdiksi) dari perangkat departemen di lapangan (instansi vertikal) secara berbeda menurut pertimbangan fungsi dan organisasi induk;

-       Tidak terdapat wilayah adminsitrasi (seperti yang dikenal di Indonesia) dengan wakil pemerintahannya untuk keperluan koordinasi dan kegiatan pemerintahan lainnya;  

 

Integrated Field Administration,  mengharuskan terdapatnya keseragaman batas – batas wilayah  kerja (yurisdiksi) dari berbagai instansi vertikal atas dasar  (wilayah) administrasi beserta wakil pemerintah.

 

Integrated Prefectoral Sistem:

a.   Merupakan pelaksanaan dari integrated field administration dalam desentralisasi;

b.   Mengharuskan pula berhimpitnya daerah otonom dengan daerah (wilayah) administrasi;

c.   Perangkapan jabatan Kepala Daerah dan Wakil Pemerintah;

 

FRIED, menyebutkan bahwa sistem tata pemerintahan dilihat dari apakah sebuah negara menganut penempatan “wakil pemerintah” atau tidak, maka ada 2 (dua) sistem utama di dunia:

1.    Negara – negara yang menganut sistem perfektur;

2.    Negara – negara yang menganut sistem fungsional (tidak dianut wakil pemerintah di daerah);  

 

AF LEEMANS  (1970) menggunakan pola pertalian dalam pemerintahan daerah sebagai metode, yaitu:

-       Dual hierarchy model, terdiri dari:

a.    Central government field administration;

b.    The representative local government institution;

c.    Masing – masing hierarki merupakan campuran dari beberapa tingkat dari pemerintahan daerah atau wilayah administrasi, dengan masing – masing daerah memiliki tanggung jawab yang semakin menurun/mengecil;

d.    Adanya dua jenis lembaga yang muncul karena dekonsentrasi dan desentralisasi bersama – sama tanpa terjadi pertautan di setiap tingkat.  

-       Fused/Single hierarchy  model:

Pada fused/single hierarchy dalam berbagai level pemerintahan yang tercipta selalu terjadi pertautan penggunaan asas (mekanisme) desentralisasi dan dekonsentrasi;

-       Split model:

Pada split model, terdapat jenjang pemerintahan yang memisahkan atau berdiri sendiri penerapan baik atas (mekanisme) desentralisasi maupun dekonsentrasi.  

 

Ultra Vires Doctrine:

-       Daerah Otonom hanya dapat menyelenggarakan urusan pemerintahan yang diserahkan secara konkrit oleh Pemerintah berdasarkan hukum;

-       Daerah otonom tergolong intra vires;

-       Melahirkan otonomi materiil;

-       General Competence atau Open End Arrangement atau Universal Power:

-       Daerah Otonom dapat menyelenggarakan urusan pemerintahan yang secara khusus tidak dilarang oleh undang – undang atau tidak termasuk kompetensi pemerintah atau daerah lain;

-       Melahirkan otonomi formal;

 

Kewenangan dibagi dalam:

1. KEWENANGAN PANGKAL:

Kewenangan yang diberikan kepada daerah bersamaan ketika daerah tersebut dibentuk (berdasarkan undang – undang pembentukan);

2. KEWENANGAN TAMBAHAN:

Kewenangan yang diberikan kepada daerah berdasarkan peraturan perundang – undangan setelah daerah tersebut dibentuk, misalnya:

a.      Kewenangan di bidang kehutanan;

b.      Kewenangan di bidang pertambangaan;

c.      Kewenangan di bidang perizinan, dan lain – lain;

 

Wewenang tambahan dibedakan antara:

a.  Secara formal, penyerahan wewenang tertentu dari pusat ke daaerah tanpa menyebut daerah mana;

b.  Secara riil

c.  Penyerahan wewenang tertentu dari pusat ke daerah dengan menyebut daerah mana.



APPE HAMONANGAN HUTAURUK, SH., MH.






SEKILAS MENGENAI KONSEP NEGARA HUKUM

 



SEKILAS MENGENAI  KONSEP NEGARA HUKUM

 

Negara Hukum  dikenal dengan terminologi  rechtsstaat  atau  the rule of law, namun demikian keduan konsep tersebut  berasal dari 2 (dua) aliran  yang berbeda. Dogma  rechtsstaat pada hakekatnya  berorientasi  pada sistem hukum  Eropa Kontinental atau Civil Law,  yang dikembangkan oleh para ahli hukum  seperti Immanuel Kant dan Friederich Julius Stahl. Ide mengenai  rechtsstaat mulai populer pada abad ke XVII sebagai akibat dari situasi politik Eropa yang didominasi  oleh absolutisme Raja dalam menjalankan kekuasaannya.

 

Dogma  the rule of law berorientasi  pada sistem hukum anglo saxon atau common law system, yang  mulai dikenal setelah Albert Venn Dicey pada tahun 1885 menerbitkan bukunya "Introduction to Study of the Law of the Constitution".  Secara konseptual, Negara hukum berlandaskan  pada keyakinan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang adil dan baik. Prinsip dasar dari negara hukum mencakup 2 (dua), yaitu: 1) hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah tidak berdasarkan kekuasaan melainkan berdasarkan suatu norma obyektif, yang juga mengikat pihak yang memerintah; dan 2)   norma obyektif  tersebut  harus memenuhi syarat  tidak hanya secara formal, melainkan dapat dipertahankan berhadapan dengan idea hukum. 

 

Penyelenggaraan tugas pemerintahan atau kekuasaan negara dalam konteks negara hukum harus melalui pendekatan hak asasi manusia (human rights approach). Rights based approach merupakan fokus pendekatan administratur atau aparatur negara, yang meliputi:

1. Perlindungan hak - hak asasi (protection of fundamental rights);

2. Asas - asas pemerintahan yang baik (principles of good administration), antara lain: legality, procedural propriety, participation, openness, reasonableness, relevancy, propriety of purpose, legal certainty and proportionality. (Peter Leyland and Terry Woods, Administrative Law Facing the Future: Old Constraints and new horizon,p.8).[1]

 

ECS WADE  & G. PHILIPS, sebagaimana dikutip Hadjon (1987:79) mengetengahkan  3 (tiga) unsur  pokok RULE OF LAW, yaitu:

1.   Rule of Law merupakan  konsep filosofis yang dalam tradisi barat berkaitan dengan demokrasi dan menentang otokrasi;

2.   Rule of Law merupakan hukum bahwa pemerintahan harus dilaksanakan sesuai dengan hukum;

3.   Rule of Law  merupakan kerangka pikir politik yang harus dirinci lebih jauh dalam peraturan - peraturan hukum substantif maupun hukum acara.[2]

 

 HEPPLE mengatakan bahwa ciri - ciri Rule of Law modern, adalah:

1.   Universality (universalitas);

2.   Openness (keterbukaan);

3.   Equality (persamaan);

4.   Accountability (pertanggungjawaban);

5.   Clarity (kejelasan);

6.   Rationality (rasionalitas); 

 

Menurut SUNARYATI HARTONO, inti konsep Rule of Law yakni ia harus menjamin apa yang oleh masyarakat dipandang sebagai keadilan, khususnya KEADILAN SOSIAL.

 

Komparasi konsep "rechtsstaat"  dengan konsep "rule of law", maka akan tampak adanya perbedaan dan persamaan. Perbedaannya adalah bahwa kedua konsep itu ditopang oleh sistem hukum yang berbeda, dimana karakteristik konsep "rechtsstaat" adalah administratif dan karakteristik konsep "rule of law" adalah judicial, pembatasan kekuasaan melalui dokumen konstitusi seperti HABEAS CORPUS ACT antara lain mengatur tentang peradilan yang adil dan tidak sewenang - wenang. Sedangkan persamaan kedua konsep tersebut adalah sama - sama menekankan pada perlindungan Hak Asasi Manusia (protection of fundamental  human rights).

  



[1] Philipus M. Hadjon, Paulus Effendie Lotulung, dkk., Hukum Administrasi dan Good Governance, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, Cetakan Kedua, Tahun 2012, hlm. 8.

[2] Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Penerbit CV. Mandar Maju, Bandung, Cetakan Ke - 2, Tahun 2012, hlm. 25.


Dr. (Cand) APPE HAMONANGAN HUTAURUK, SH., MH.







MEREKA MENGAKU NASIONALIS ???

 


MEREKA MENGAKU NASIONALIS ???

 

Bung Karno dengan tegas mengatakan bahwa  dimasa masa pra kemerdekaan, imprealisme itu adalah musuh utamanya rakyat Indonesia. Begitu pula dalam memperingati  Hari Ulang Tahun Republik Indonesia  tanggal 17 Agustus  1966, Presiden Soekarno menegaskan petuah “Jangan sekali – kali meninggalkan sejarah, yang disingkat dengan judul  JASMERAH”. 

Bangsa Indonesia saat ini mengalami pergumulan dan pergulatan  yang maha dahsyat, akibat adanya tekanan  dari berbagai aspek perikehidupan berbangsa dan bernegara. Tekanan dan pengaruh yang dilakukan anak bangsa sendiri yang bermaksud merubah ideologi Pancasila, begitupula  kekacauan yang ditimbulkan NEOLIBERAL  dengan mengusung imperealisme gaya baru melalui pemusatan kekuatan modal. Belum lagi kita hitung “PENJAHAT – PENJAHAT BERDASI”“TIKUS – TIKUS KANTOR” yang  disebut pelaku WHITE  COLLAR CRIME  yang tanpa malu dan penuh kerakusan merampokan uang rakyat dan negara. 

Sepertinya banyak anak bangsa yang karakternya sudah berubah menjadi “DEWA MABOK” sehingga melupakan petuah mulia  mengenai “JASMERAH” yang diwasiatkan oleh Bung Karno. Mereka tidak mau lagi peduli atau bahkan sengaja menghilangkan REKAM JEJAK SEJARAH, bahwa betapa sulitnya perjuangan para PENDIRI BANGSA  memproklamirkan kemerdekaan, memperjuangkan kedaulatan negara agar diakui dunia Internasional dan membangun rumah bangsa yang dinamakan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Tetapi anehnya, mereka yang telah berubah menjadi “DEWA MABOK” tersebut  karena bermaksud merubah ideologi Pancasila, karena merampok uang rakyat dan negara, karena merusak tatanan perekonomian negara dengan pola neoliberalisme mengaku sebagai NASIONALIS padahal sesungguhnya mereka memakai TOPENG KEPALSUAN seolah – olah bernazar untuk kepentingan bangsa dan negara Indonesia. 

Pemerintah dan rakyat Indonesia harus waspada terhadap perilaku munafik para pemakai TOPENG KEPALSUAN  sebab ada kejahatan tersembunyi (HIDDEN CRIMINALITY) yang terselubung dibalik nafsu buas mereka. “HAKEKATNYA, MEREKA MERUPAKAN BAHAYA LATEN YANG DAPAT MENGANCAM SETIAP SAAT”.   

 Imperialisme dalam wujud neoliberalisme adalah   musuh rakyat Indonesia.  Untuk mengalahkan Imperialisme tersebut harus dilakukan dengan adanya persatuan nasional. Bung Karno megkonstruksikan agar Persatuan nasional dibangun atas dasar semangat nasionalisme kebangsaan.

 

Writer and Copy Right:
Dr. (Cand.) Appe Hamonangan Hutauruk, SH., MH.
Lecturer, Advocate and Legal Consultant
Handphone: 0818964919, 085959597919, 081213502002




UNIVERSITAS MPU TANTULAR






PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI PERSATUAN

 


PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI PERSATUAN

 

Negara adalah suatu wadah yang dapat diisi dengan berbagai konsep. Berdasarkan kenyataan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) disusun berdasarkan Pancasila, maka apapun konsepsi – konsepsi yang dituangkan dalam negara Indonesia harus sesuai dengan nilai – nilai Pancasila. 

Pancasila merupakan ideology nasional yang meliputi dan memayungi segenap orientasi yang ada dalam negara Indonesia. Artinya, adanya pandangan hidup – pandangan hidup dalam masyarakat diakui dan dibenarkan untuk berkembang, baik dengan mengeksplisitkan potensi dan nilai – nilai yang terkandung di dalamnya, maupun melalui akulturasi. AKULTURASI merupakan proses sosial yang terjadi dalam masyarakat dimana kebudayaan asli masyarakat tertentu diperhadapkan dengan unsur kebudayaan asing, yang lambat laun kebudayaan asing tersebut berbaur bahkan dapat menghilangkan kebudayaan asli. 

Pada asasnya, pengembangan nilai budaya masyarakat diperlukan untuk memperkuat kebudayaan daerah sebagai sarana artikulasi masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu, eksistensi pandangan hidup – pandangan hidup yang ada dalam masyarakat diperlukan untuk mengisi dan memperkaya khasanah ideology nasional dalam menjalankan fungsinya untuk menggalang persatuan dan kesatuan bangsa.    

Dalam konteks tersebut,  kebudayaan nasional merupakan rangkuman dari berbagai kebudayaan daerah. Pertautan dari berbagai kebudayaan yang ada di Indonesia diharapkan menumbuhkan saling pengertian dan saling menghargai dalam suatu komitmen untuk memperkuat PERSATUAN NASIONAL. 

“Frame of thinking” yang populer pada masa yang lamapu, yang menyatakan “Pancasila melulu merupakan doktrin revolusi”, atau “Melulu dasar cita – cita kebudayaan”  adalah pandangan yang menyesatkan dan propaganda provokatif. Bahaya lain yang dicatat sejarah adalah, upaya – upaya yang mencoba memperhadapkan pandangan hidup tertentu sebagai sub ideologi tandingan terhadap Pancasila yang merupakan ideologi nasional, dan selanjutnya dipaksakan berbenturan baik dengan cara – cara persuasif  dan/atau dengan cara – cara penggunaan kekerasan fisik melalui gerakan gerombolan masa. 

Eksistensi Pancasila sebagai ideologi persatuan telah membuktikan relevansi dan kekuatannya dari dahulu sampai sekarang. Inilah yang dinamakan PANCASILA SEBAGAI FILSAFAT POLITIK, oleh karena rakyat Indonesia mempunyai kesadaran yang kuat sebagai bangsa dengan identitas nasionalisme dan patriotisme dalam rangka menangkal dan melawan berbagai kebudayaan dan doktrin agitasi, provokasi dengan sasaran disintegrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Meskipun harus kita akui bahwa ideologi Pancasila bersifat TERBUKA, tetapi memiliki JEJARING  yang kuat untuk memfilter  (menyaring) potensi – potensi yang dapat membahayakan keutuhan NKRI.   Jejaring Pancasila tersebut adalah keanekaragaman budaya dan nilai – nilai luhur masyarakat Indonesia, yang telah terkristalisasi dalam sila – sila Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia.

 

Writer and Copy Right:
Dr. (Cand.) Appe Hamonangan Hutauruk, SH., MH.
Lecturer, Advocate and Legal Consultant
Handphone: 0818964919, 085959597919, 081213502002




UNIVERSITAS MPU TANTULAR







AZAS – AZAS PERUNDANG – UNDANGAN

 


AZAS – AZAS PERUNDANG – UNDANGAN

 

1.        Asas “undang – undang tidak berlaku surut”;

 

Asas ini tersimpul dalam Pasal 3 Algemene Bepalingen van Wetgeving (AB), yang berbunyi: “Undang – undang hanya mengikat untuk masa mendatang dan tidak mempunyai kekuatan yang berlaku surut” (De wet verbindt alleen voor het toekomende en heeft  geen terugwerkende  kracht)

 

2.        Asas “undang – undang yang dibuat oleh Penguasa/Lembaga/Institusi  yang lebih tinggi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula”, atau “peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan  yang rendah “ (lex/legi superior derogat lex/legi inferior), asas ini berkaitan dengan hierarki peraturan – perundang – undangan;

 

3.        Asas “undang – undang yang bersifat khusus menyampingkan undang – undang yang bersifat umum” (Lex specialis derogat  lex generalis);

 

4.        Asas  “undang – undang yang berlaku belakangan membatalkan undang – undang yang berlaku terdahulu” (Lex posteriori  derogat lex priori), jika mengatur hal yang sama yang makna dan tujuannya bertentangan;

 

5.        Asas “undang – undang tidak dapat diganggu – gugat”;

 

Asas ini sudah tidak berlaku lagi dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi berdasarkan Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi;

 

6.        Asas “Welvaarstaat” yaitu undang – undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin mencapai kesejahteraan materil dan spiritual bagi masyarakat melalui pelestarian dan pembaharuan;  

 

Agar pembuat undang – undang tidak bertindak sewenang – wenang atau undang – undang tidak merupakan/menjadi kumpulan huruf – huruf mati (doode letter, atau black letter law), maka sebelum diundangkan harus terpenuhi beberapa syarat, yaitu:

 

a.    Syarat keterbukaan yaitu bahwa sidang – sidang di Dewan Perwakilan Rakyat dalam pembuatan undang – undang harus diumumkan, dengan harapan adanya tanggapan dari warga masyarakat yang berminat;

 

b.    Syarat emberikan kesempatan kepada warga masyarakat untuk mengajukan usul – usul tertulis dalam proses pembuatan undang – undang, dengan cara:

 

-         Mengundang pihak – pihak tertentu yang menyangkut pembuatan rancangan peraturan perundang – undangan tertentu;

 

-         Mengundang organisasi – organisasi tertentu untuk memberikan usul – usul tentang rancangan undang – undang tertentu;

 

-         Pembentukan komisi – komisi penasehat yang terdiri dari tokoh – tokoh dan ahli – ahli terkemuka;  


APPE HAMONANGAN HUTAURUK, SH., MH.




UNIVERSITAS MPU TANTULAR






Sekelumit Ringkasan HUKUM WARIS ADAT

  Sekelumit Ringkasan  HUKUM WARIS ADAT   HUKUM WARIS ADAT   adalah hukum waris yang diakui, diyakini dan dijalankan oleh suku atau etnik  t...